Sabtu, 10 Mei 2014

A.A. Navis: RAMBUN PAMENAN (Cerita Rakyat Sumatra Barat)

Diceritakan kembali oleh Sita Rose

Pak Tua dan Rambun Pamenan
Sita Blog: "Nina Bono" - Sabtu, 10 Mei 2014 - 19:20 WIB - Rambun Pamenan dan kakaknya, Reno Pinang, bagaikan sepasang anak balam (burung tekukur), laki-laki dan perempuan.  Sewaktu Rambun dan Reno masih kecil, ayah mereka meninggal.  Ibu mereka, Lindung Bulan, sangat terkenal kecantikannya.  Banyak orang yang melamar Lindung Bulan setelah kematian suaminya.  Akan tetapi, dia lebih senang tetap menjanda daripada anak-anaknya berayah tiri.

Kecantikan Lindung Bulan didengar oleh Rajo Angek Garang, penguasa negeri Terusan Cermin.  Raja ini terkenal garang (kejam), seperti namanya.  Dia ingin memperistri Lindung Bulan.  Oleh karena itu, diperintahkannya hulu balang (prajurit pengawal) yang dipimpin oleh Palimo Tadung menjemput Lindung Bulan.  Jika menolak dibawa dengan baik-baik, Lindung Bulan harus dibawa dengan paksa.

Menurut pencerita, Lindung Bulan diculik dari rumahnya dan dibawa terbang dengan “burak” (semacam kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad) ke istana Rajo Angek Garang.

Karena menolak menikah dengan raja itu, Lindung bulan dimasukkan ke penjara.  Bertahun-tahun Lindung Bulan dikurung dalam penjara tanpa kabar berita.  Rambun dan Reno pun tumbuh menjadi remaja yatim piatu.

Pada suatu hari, Rambun pergi untuk mencari balam.  Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemburu yang sedang berteduh di balik semak belukar.  Namanya Aang Bangkeh.  Setelah berbincang-bincang, pemburu itu mengetahui bahwa Rambun adalah anak Lindung Bulan.  Kemudian, Alang Bangkeh menceritakan keadaan  Lindung Bulan yang telah bertahun-tahun ditawan oleh Rajo Angek Garang.  Alang Bangkeh mengetahui keadaan Lindung Bulan karena ia sering berkelana menjelajahi berbagai negeri.

Sejak hari itu, Rambun sering termenung dan sering meradang (marah-marah).  Kakaknya menjadi bingung dan akhirnya ia bertanya mengapa adiknya bertingkah seperti itu.  Kemudian Rambun menceritakan apa yang didengarnya dari Alang Bangkeh.  Rambun sangat menyesalkan tindakan kakaknya karena tidak memberitahu peristiwa yang menimpa ibunya.

Akhirnya, Rambun memutuskan untuk pergi.  Reno tidak mampu mencegahnya.  Dia menyediakan perlengkapan untuk perjalanan adiknya.  Dengan perasaan sedih, dia melepas Rambun pergi, sambil berkata, 

“Aduhai, adikku Rambun Pamenan.  Selama ini aku yang merawat dan menjagamu.  Bagaimana nanti jika kau sendirian?”

“Memang aku masih muda, tetapi aku seorang laki-laki.  Kakak tidak perlu cemas,”  jawab Rambun Pamenan menguatkan hati kakaknya.

Semua orang tahu bahwa negeri Terusan Cermin berada di seberang hutan belantara.  Akan tetapi, tidak ada yang tahu di seberang hutan belantara yang mana negeri itu berada.  Meskipun demikian, tekad Rambun telah bulat untuk membebaskan ibunya.  Kakaknya sering berkata bahwa setiap cita-cita yang luhur, bagaimanapun sukarnya, akan dapat diraih dengan kerja keras dan sungguh-sungguh.  Kata-kata itulah yang selalu menjadi pegangannya.  Doa Reno pun menyertai perjalanan Rambun.

Menurut pencerita, doa Reno dikabulkan.  Sewaktu Rambun jatuh sakit di dalam hutan belantara karena lapar dan lelah, Reno seperti mengirimkan ramuan penangkal lapar seperti sebungkus nasi dan sebutir telur rebus.  Ramuan itu dibawa oleh balam berwarna tembaga, mainan kesayangan Rambun.

Kejadian itu berlangsung beberapa kali sampai Rambun tiba di sebuah ladang di tepi hutan.  Rambun menumpang pada orang tua pemilik ladang.  Rambun ingin memulihkan badannya yang sangat letih setelah melewati hutan belantara.  Akan tetapi, ia juga ikut berladang.  Rambun bekerja keras di ladang itu sehingga pemilik ladang kagum kepadanya.  Malamnya, ketika menghangatkan badan dekat api unggun sambil membakar ubi, peladang itu bertanya,

“Kau masih muda, mengapa sampai ke sini?”

Rambun kemudian menceritakan maksud dan tujuannya berkelana.  Ia juga menceritakan pengalamannya saat menempuh hutan belantara.  Setelah mendengar cerita Rambun, orang tua itu memberi tahu bahwa Rambun telah menempuh hutan yang salah.  Ia berkata kepada Rambun,

“Seharusnya kau menempuh hutan sebelah barat, nak.  Akan tetapi tak apalah.  Tuhan yang menghendaki supaya kita bertemu.”

Keesokan hrinya, Rambun tetap bekerja seperti biasa.  Ia belum berkeinginan untuk meninggalkan ladang itu meskipun telah dipersilahkan oleh si pemilik ladang.  Tidak sia-sia Rambun tinggal di sana. Ubi dan jagung yang ditanamnya dapat dipanen.  Tanah digemburnya untuk ditanami lagi.  Setelah itu, barulah dia pamit.  Peladang tua itu memberi Rambun sebatang tongkat.  Katanya,  “Gunakanlah dalam perjalanan.  Namanya tongkat Manau Sungsang.  Tongkat ini akan berguna nanti.”

Rambun kemudian jalan melintasi hutan belantara yang ditunjukkan peladang tua itu.  Tongkat tua itu juga dibawanya.  Setelah lama dia berjalan, tiba-tiba dilihatnya seekor ular besar sedang melilit orang.  Pada awalnya ia merasa takut.  Namun akhirnya Rambun memukul kepala ular itu sekuat tenaga dengan tongkatnya sehingga lilitannya lepas.  Ular itu pun mati seketika.  Ternyata orang itu adalah seorang perimba (orang yang mencari nafkah di hutan) yang tertidur ketika ular itu datang melilit tubuhnya.

Menurut pencerita, perimba itu bagaikan burung garuda dan menerbangkan Rambun ke negeri Terusan Cermin tempat Rajo Angek Garang berkuasa. Perjalanan yang sangat jauh ditempuhnya dalam sekejap mata. Rambun diturunkan di tepi dusun.

Rambun merasa sangat lapar ketika tiba di dusun itu.  Didatanginya sebuah lepau (kedai nasi).  Tak ada orang lain di tempat itu selain seorang wanita pemilik lepau.  Dia sedang bernyanyi mengisi waktu.  Setelah masuk ke lepau itu, Rambun berkata,

“Ibu, aku lapar sekali, tetapi aku tidak mempunyai uang.  Berilah aku pekerjaan apa saja untuk pembayar nasi.”

Karena iba, wanita itu memberi makanan dengan Cuma-Cuma.  Untuk membalas kebaikannya, Rambun bekerja di lepau itu.  Tidak henti-hentinya Rambun bekerja keras untuk pemilik lepau itu.  Ia menyediakan kayu bakar dan memperbaiki bagian-bagian rumah yang sudah rusak.  Oleh karena itu, suami-istri pemilik lepau mengaguminya.

Pada waktu luang dikunjunginya negeri Rajo Angek Garang.  Ia mempelajari seluk beluk negeri itu untuk mengetahui di mana ibunya di tahan.
Akhirnya, semua pekerjaannya selesai dan Rambun meminta izin kepada suami-istri pemilik lepau. Hati kedua suami-istri pemilik lepau merasa sedih berpisah dengan Rambun.  Mereka memberi Rambun sepasan baju untuk mengganti baju Rambun yang telah usang dan robek.

Setelah sampai di negeri Terusan Cermin, Rambun segera mencari penjara tempat ibunya ditahan.  Tujuh orang hulubalang berjaga-jaga di sana.  Rambun berkata kepada salah satu di antaranya bahwa dia ingin menemui wanita yang ditawan dalam penjara itu.  Hulubalang itu tertawa terbahak-bahak.  Dipanggilnya teman-temannya dan berkata,

“Hai, kawan-kawan.  Lihat, anak kecil ini mau membuat masalah.”

Seorang hulubalang mengangkat Rambun.  Ia melemparkannya ke temannya yang lain.  Selanjutnya, Rambun dipermainkan oleh mereka.  Setelah letih, mereka melempar Rambun ke tanah dan kemudian ditendangi.  Setelah tak kuasa menahan kesabarannya, Rambun memukulkan tongkat Manau Sungsang sehingga mereka lari tunggang langgang, kesakitan.  Saat itulah Rambun baru mengetahui kalau tongkat Manau Sungsang adalah sebuah tongkat sakti.

Melihat anak buahnya tak berdaya, Palimo Tadung datang dengan marah.  Ketika Palimo Tadung mencabut pedangnya, Rambun mendahului memukulkan tongkatnya.  Pukulan Rambun tepat mengenai kepala Palimo Tadung sehingga tewas saat itu juga.

Peristiwa itu disampaikan hulubalang kepada Rajo Angek Garang.  Raja Angek Garang menjadi sangat marah bukan kepalang.  Ia mencabut pedangnya dan menusukkannya ke salah seorang hulubalang hingga tewas.  Hulubalang yang lain lari tunggang langgang

Dengan pedang berdarah masih terhunus, Rajo Angek Garang menyerbu Rambun.  Raja itu sangat marah.  Ayunan dan tusukan pedangnya menyambar-nyambar.  Ketika Rambun memukulkan tongkatnya, ternyata kesaktian tongkat itu tidak mempan. Raja terus menyerang.  Rambun berpikir bahwa kesaktian lawannya tentu pada pedangnya.  Oleh karena itu, ketika Rajo Angek Garang mengangkat tongkatnya tinggi-tingi, Rambun melompat dan memukul pedang itu.  Pedang itu terlepas dari tangan Rajo Angek Garang.  Saat itu juga, Rambun memukul kepala Rajo Angek Garang hingga jatuh dan tewas.

Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu bersorak gembira.  Rajo Angek Garang yang kejam itu telah mati.  Rambun memerintahkan mereka membuka penjara dan membebaskan semua tawanan.  Rambun pun masuk ke dalam penjara.  Ditemuinya ibunya Lindung Bulan terikat pada rantai.  Badannya kurus dengan mata cekung.  Keadaanya sangat berbeda jauh dengan cerita Reno Pinang yang mengatakan bahwa ibunya sangat cantik.  Rambun memeluk ibunya dengan erat.  Sambil menangis, dia mengatakan bahwa dialah RambunPamenan, si bungsu yang diringgal ketika masih bayi.  Keduanya berangkulan dan menangis karena haru bercampur bahagia.

Menurut cerita, setelah Rajo Angek Garang mati, rakyat negeri itu meminta Rambun untuk menjadi raja.  Akan tetapi, Rambun tidak bersedia menjadi raja di negeri asing.  Dia kemudian membawa ibunya, Lindung Bulan, kembali ke kampung halamannya.  Mereka pun berkumpul kembali dengan kakaknya, Reno Pinang.

Pustaka:
A.A. Navis. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat. Grasindo-Jakarta 1994   

1 komentar:

  1. Kecantikan Lindung Bulan didengar oleh Rajo Angek Garang, penguasa negeri Terusan Cermin. Raja ini terkenal garang (kejam), seperti namanya. Dia ingin memperistri Lindung Bulan. Oleh karena itu, diperintahkannya hulu balang (prajurit pengawal) yang dipimpin oleh Palimo Tadung menjemput Lindung Bulan. Jika menolak dibawa dengan baik-baik, Lindung Bulan harus dibawa dengan paksa.

    BalasHapus